Enrekang, Warta Global.id - Forum Gorup Discussion (FGD) berlangsung di Hotel Sabindo, Jl. Arif Rahman Hakim, Ahad (13/10/2024). Diskusi Kelompok Terpumpun mengusung tema "Studi Objek Pemajuan Kebudayaan Tradisi Ritual Maccera Manurung La Ceppaga Desa Limbuang". Acara diadakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Enrekang.
Acara FGD tersebut menghadirkan tiga pembicara utama, dari tokoh adat yang diwakili oleh Ketua Tokoh Adat Tokkonang sekaligus Imam Masjid Agung Enrekang, Sudirman Tajang, dari akademisi, Dosen Universitas Muhammadiyah Enrekang, Sekaligus Sekretaris MUI Enrekang, Dr. Ilham Kadir, dan dari Dinas Pendidikan yang diwakili oleh Kepala Bidang Kebudayaan, Dr. Edi.
Para peserta merupakan perwakilan dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari unsur pemerintah, tokoh adat, pemuka masyarakat, pendidik, hingga mahasiswa. Aula Lantai 3 Hotel Sabindo terlihat sesak oleh peserta.
Dalam paparannya, Tokoh Adat Tokkonang, Sudirman Tajang menyampaikan bahwa adat maccera' manurung sarat dengan pesan-pesan moral sekaligus sebagai bukti kesyukuran kita pada Allah ta'ala.
"Sejak remaja lagi, kami sudah diajari oleh para tetua supaya memperlakukan sesama manusia dengan mulia, menyambut tetamu sepenuh hati, dan selalu ingin berbagi pada sesama, inilah di antara materi musyawarah para tetuai tokoh adat dalam acara maccera' manurung," jelasnya.
Awalnya, acara maccera manurung, lanjut Sudirman Tajang, terjadi di Kaluppini, saat itu terjadi pacaklik, tanamam tidak mau tumbuh, hewan-hewan mati, hingga yang tersisa hanya pohon nangka yang berbuah sisa dua buah.
"Maka, masyarakat bermusyawarah agar membiasakan diri berbagi. Sedekah sebagai tolak bala', dengan cara menyediakan makanan lalu mengundang orang-orang agar bisa makan berjamaah. Jadi konsepnya makan berjamaah sambil merumuskan program-program masyarakat untuk menjaga dan melestarikam alam," jelas Imam Masjid Agung Enrekang itu.
Dari sudut pandang akademisi, Dr Ilham Kadir memaparkan materinya dengan berbagai pendekatan. Materi yang ia bahwakan adalah "Maccera' Manurung: Terminologis, Historis, Teologis, Sosiologis".
Antara materinya adalah terminologi maccera', yang pada awalnya sebelum terjadi islamisasi sarat dengan khurafat, biasanya dilakukan untuk persembahan kepada arwah-arwah jahat atau jin di tempat-tempat dikeramatkan.
"Namun setelah terjadi islamisasi maccera berubah menjadi menyembelih hewan untuk dalam bentuk selamatan atau kesyukuran. Termasuk maccera' baca akorang, atau syukuran karena telah khatam baca Al-Qur'an", parparnya.
Demikian pula manurung, lanjut Ilham Kadir, dulu itu dimaksud to manurung, yaitu kepercayaan khayal bahwa ada manusia yang turun dari langit untuk menjadi raja atau menunjuk penguasa di daerah tertentu.
"Kini sudah bukan lagi To Manurung tapi berubah menjadi 'manurung' yang berarti semua nikmat dan karunia Allah yang diturunkan kepada manusia di bumi ini," jelas Imam Masjid Pasar Enrekang ini.
Bahkan sudah dimaknai jauh, bahwa manurung adalah menurunkan nilai-nilai kebaikan dari tetua kepada generasi muda, seperti semangat belajar, giat bekerja, memiliki adab yang luhur, sikap pendirian yang lurus, menjadi tobana atau tolong-menolong, nasihat menasihati, bantu membantu.
Sekertaris Umum MUI Enrekang itu berkesimpulan bahwa kosa kata asal yakni maccera' tetap dipakai, tapi makna, nilai, dan konsepnya telah berubah karena terjadi islamisasi dengan teori asimilasi. Lahirlah budaya bersendi syariat, dan syariat merujuk kepada ajaran Islam.
Ia menegaskan bahwa tidak boleh ada acara maccera' yang tidak sesuai dengan syariat tata cara penyembelihan dan tidak boleh membuat sesajen dari makanan apa pun untuk disimpan di tempat keramat. Karena itu menghinakan diri sendiri, dan tentu mubazir.
"Ada pun ramai-ramai membawa makanan lalu di makan di masjid, di rumah, di gunung, pinggir laut maka tidak ada larangan yang penting baca doa makan dan bismillah", terangnya.
Pimpinan Baznas Enrekang ini berpesan bahwa yang terpenting adalah para dai harus terus melakukan dakwah kepada tokoh-tokoh adat, dan akan lebih baik jika tokoh tersebut sekaligus sebagai pegawa syara' atau parewa syara' seperti di Tokkonang.
"Tidak boleh seorang dai memulai dakwahnya dengan membangun permusuhan dan antipati kepada masyarakat", tegas Ilham Kadir.(*)
KALI DIBACA



No comments:
Post a Comment